Jadi ceritanya setelah sekian lama absen ngeblog karena nggak ada waktu buat ngeblog dan juga sekarang zamannya sudah beralih ke nge-vlog tapi saya nggak punya vlog, akhirnya saya memanfaatkan waktu senggang saya ini buat ngeblog hehehe..
Waktu senggang ini saya dapatkan karena saya mengambil sick leave. Saya sedang flu berat dan dengan senang hati saya ambil jatah sick leave saya alias ijin sakit berbayar.
Setelah sekian lama berjuang dan berhasil mendapatkan Australian Permanent Resident, bagaimana kabarnya kehidupan kami?
Yah.. Puji Tuhan lebih baik daripada dulu waktu masih pegang International Student Visa. Sebagai International Student, selain bekerja, salah satu dari pasutri harus belajar. Lah iya lah.. namanya juga student. Yang parah dari International Student Visa ini adalah biaya sekolahnya International. Di Australia, para pemegang Permanent Resident atau New Zealand Citizen atau Australian Citizen boleh bersekolah dengan biaya yang super murah. Contohnya.. kalau International Student mau belajar Diploma aja 2 tahun harus keluar uang sekitar 15.000 - 20.000 dollar alias 150 - 200 juta yang bisa dicicil per term dengan hasil banting tulang, si warga permanen cuman bayar uang administrasi aja sebesar 300 - 500 dollar alias 3 - 5 juta rupiah. Loh kok bisa gitu?? Ya karena si warga domestik ini dibayarin warga international.
Nah setelah kami jadi warga permanen, berarti enak donk tinggal kerja dan mengumpulkan uang? Yah.. kalo tahun tahun pertama setelah menjadi warga permanen begini sih masih belum bisa dikatakan settle. Untuk bisa bekerja secara profesional, kita harus minimum pegang yang namanya certificate. Saya sudah pegang certificate jadi sekarang bisa bekerja jadi pengajar di taman kanak kanak. Lah kok taman kanak-kanak?? Padahal kayaknya dulu yang namanya Anita kurang demen sama anak anak? hahaha.. Yah karena kerjaan ini termasuk salah satu yang High Demand karena warga lokal lebih nggak demen sama anak-anak. Bahkan temen temen sekerja bilang mereka aja males punya anak karena kultur bule nggak ada yang ngeribetin nyuruh punya anak. Karena lowongan untuk kerjaan yang satu ini saingannya kurang banyak, jadinya saya yang ambil deh.. Berarti S1 Arsitektur yang 4 tahun disekolahkan susah susah itu nggak guna donk? Eits jangan salah.. S1 dan pengalaman kerja di Indonesia serta tes IELTS itulah yang membawa saya jadi Permanent Resident di sini. Lalu sekarang suami saya yang dulu menyokong penuh waktu saya belajar jadi tenaga profesional, gantian lah dia yang belajar. Kali ini dengan status warga domestik. Dan anak semata wayang saya sekarang juga sekolah di taman kanak-kanak yang berbeda dengan tempat di mana saya mengajar karena enggak enak rasanya ngajar bersama anak sendiri.
Setelah menceritakan sekilas kehidupan di atas yang mungkin kedengaran menyenangkan padahal kalau dijalani sendiri juga susah lho karena semua di sini harus dikerjakan mandiri, yang namanya asisten rumah tangga dan babysitter ya kita rangkap sendiri. Sekarang saya mau menceritakan kesusahannya..
Mendekati Australian Mother's Day yang dirayakan di minggu kedua bulan Mei ini, saya nggak bisa merayakannya bersama mama saya. Mama saya alias pho-pho nya anak saya sekarang sedang tidak fit jadi nggak bisa juga pulang pergi Australia lagi, apalagi sekarang mendekati musim dingin. Musim dingin di sini jatuhnya Juni - Agustus, bukan pas natalan. Kesusahan yang dirasakan para imigran ini adalah pada saat orang tua sudah tua dan sakit tapi kami tidak bisa merawat sendiri secara fisik. Bicara dengan merawat secara fulus juga tidak segampang yang dipikirkan orang karena janganlah bepikir kita-kita yang tinggal di luar negeri ini tinggal memetik dollar dari pohon. Kebanyakan kita yang diangkat menjadi warga domestik ini beruntung karena kita mendapatkan fasilitas Medicare alias BPJS-nya negara maju sehingga kita nggak usah bayar dokter atau rumah sakit waktu kita sakit. Nah waktu mama saya sempat sakit di Australia ini saya beruntung sekali karena termasuk warga domestik di sini dan dengan mujizat Tuhan, rumah sakit di Australia mau merawat mama sampai mama kuat kembali untuk menjalani penerbangan international. Dan itu karena saya sebagai warga domestik mau membayar pajak setiap 2 minggu gajian. Seandainya saja semua warga di Indonesia bisa taat bayar pajak dan pajak-nya juga tidak dikorupsi tikus tikus jahat, mungkin saja BPJS di Indonesia bisa memberikan pelayanan yang baik buat warganya karena biaya kesehatan di Indonesia itu sangatlah mahal.
Lalu gimana donk dengan mama? Apalagi saya anak tunggal. Ya susah juga buat saya yang ada di sini.. Puji Tuhan keluarga suami saya, alias mama papa mertua dan emak mertua baik sekali mau memonitor dan menjaga mama, meskipun mereka sendiri ya pastinya ada banyak kepentingan lain.
Kembali lagi berbicara tentang kehidupan.. dengan ditempatkannya saya di Australia ini saya belajar untuk semakin bertumbuh secara rohani. Banyak sekali mujizat yang sudah Tuhan beri dalam hidup saya yang perlu saya syukuri setiap harinya. Bagaimana saya yang tidak jenius dan tidak kaya bisa mendapatkan Australian Permanent Resident, bagaimana mama saya yang bukan warga permanen bisa mendapatkan perawatan emergency dari rumah sakit di Australia waktu tiba tiba sakit di sini, bagaimana keluarga suami saya sangat baik sehingga mau menggantikan peran saya sebagai anak tunggal untuk merawat orang tua saya yang tinggal tunggal juga sekarang, bagaimana saya punya anak yang sekarang masih tunggal tapi berhati baik dan tidak menyusahkan gurunya di sekolah. Dan bagaimana saya memiliki suami yang mau mengorbankan karir yang sudah dia bangun sepuluh tahun lebih di Indonesia untuk berangkat bersama saya kesini dan memulai segalanya dari nol lagi, yang mau menjadi koki saat saya sudah kecapekan mengajar dan malas masak, yang mau menjadi babysitter buat Jose yang susah makan, yang mau bergantian jadi cleaning service karena pembantu adalah hal yang mustahil bin mustajab.
Allah menyatakan bahwa ia akan turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia (Roma 8: 28)
Written by: Anita (10 May 2018)
Waktu senggang ini saya dapatkan karena saya mengambil sick leave. Saya sedang flu berat dan dengan senang hati saya ambil jatah sick leave saya alias ijin sakit berbayar.
Setelah sekian lama berjuang dan berhasil mendapatkan Australian Permanent Resident, bagaimana kabarnya kehidupan kami?
Yah.. Puji Tuhan lebih baik daripada dulu waktu masih pegang International Student Visa. Sebagai International Student, selain bekerja, salah satu dari pasutri harus belajar. Lah iya lah.. namanya juga student. Yang parah dari International Student Visa ini adalah biaya sekolahnya International. Di Australia, para pemegang Permanent Resident atau New Zealand Citizen atau Australian Citizen boleh bersekolah dengan biaya yang super murah. Contohnya.. kalau International Student mau belajar Diploma aja 2 tahun harus keluar uang sekitar 15.000 - 20.000 dollar alias 150 - 200 juta yang bisa dicicil per term dengan hasil banting tulang, si warga permanen cuman bayar uang administrasi aja sebesar 300 - 500 dollar alias 3 - 5 juta rupiah. Loh kok bisa gitu?? Ya karena si warga domestik ini dibayarin warga international.
Nah setelah kami jadi warga permanen, berarti enak donk tinggal kerja dan mengumpulkan uang? Yah.. kalo tahun tahun pertama setelah menjadi warga permanen begini sih masih belum bisa dikatakan settle. Untuk bisa bekerja secara profesional, kita harus minimum pegang yang namanya certificate. Saya sudah pegang certificate jadi sekarang bisa bekerja jadi pengajar di taman kanak kanak. Lah kok taman kanak-kanak?? Padahal kayaknya dulu yang namanya Anita kurang demen sama anak anak? hahaha.. Yah karena kerjaan ini termasuk salah satu yang High Demand karena warga lokal lebih nggak demen sama anak-anak. Bahkan temen temen sekerja bilang mereka aja males punya anak karena kultur bule nggak ada yang ngeribetin nyuruh punya anak. Karena lowongan untuk kerjaan yang satu ini saingannya kurang banyak, jadinya saya yang ambil deh.. Berarti S1 Arsitektur yang 4 tahun disekolahkan susah susah itu nggak guna donk? Eits jangan salah.. S1 dan pengalaman kerja di Indonesia serta tes IELTS itulah yang membawa saya jadi Permanent Resident di sini. Lalu sekarang suami saya yang dulu menyokong penuh waktu saya belajar jadi tenaga profesional, gantian lah dia yang belajar. Kali ini dengan status warga domestik. Dan anak semata wayang saya sekarang juga sekolah di taman kanak-kanak yang berbeda dengan tempat di mana saya mengajar karena enggak enak rasanya ngajar bersama anak sendiri.
Setelah menceritakan sekilas kehidupan di atas yang mungkin kedengaran menyenangkan padahal kalau dijalani sendiri juga susah lho karena semua di sini harus dikerjakan mandiri, yang namanya asisten rumah tangga dan babysitter ya kita rangkap sendiri. Sekarang saya mau menceritakan kesusahannya..
Mendekati Australian Mother's Day yang dirayakan di minggu kedua bulan Mei ini, saya nggak bisa merayakannya bersama mama saya. Mama saya alias pho-pho nya anak saya sekarang sedang tidak fit jadi nggak bisa juga pulang pergi Australia lagi, apalagi sekarang mendekati musim dingin. Musim dingin di sini jatuhnya Juni - Agustus, bukan pas natalan. Kesusahan yang dirasakan para imigran ini adalah pada saat orang tua sudah tua dan sakit tapi kami tidak bisa merawat sendiri secara fisik. Bicara dengan merawat secara fulus juga tidak segampang yang dipikirkan orang karena janganlah bepikir kita-kita yang tinggal di luar negeri ini tinggal memetik dollar dari pohon. Kebanyakan kita yang diangkat menjadi warga domestik ini beruntung karena kita mendapatkan fasilitas Medicare alias BPJS-nya negara maju sehingga kita nggak usah bayar dokter atau rumah sakit waktu kita sakit. Nah waktu mama saya sempat sakit di Australia ini saya beruntung sekali karena termasuk warga domestik di sini dan dengan mujizat Tuhan, rumah sakit di Australia mau merawat mama sampai mama kuat kembali untuk menjalani penerbangan international. Dan itu karena saya sebagai warga domestik mau membayar pajak setiap 2 minggu gajian. Seandainya saja semua warga di Indonesia bisa taat bayar pajak dan pajak-nya juga tidak dikorupsi tikus tikus jahat, mungkin saja BPJS di Indonesia bisa memberikan pelayanan yang baik buat warganya karena biaya kesehatan di Indonesia itu sangatlah mahal.
Lalu gimana donk dengan mama? Apalagi saya anak tunggal. Ya susah juga buat saya yang ada di sini.. Puji Tuhan keluarga suami saya, alias mama papa mertua dan emak mertua baik sekali mau memonitor dan menjaga mama, meskipun mereka sendiri ya pastinya ada banyak kepentingan lain.
Kembali lagi berbicara tentang kehidupan.. dengan ditempatkannya saya di Australia ini saya belajar untuk semakin bertumbuh secara rohani. Banyak sekali mujizat yang sudah Tuhan beri dalam hidup saya yang perlu saya syukuri setiap harinya. Bagaimana saya yang tidak jenius dan tidak kaya bisa mendapatkan Australian Permanent Resident, bagaimana mama saya yang bukan warga permanen bisa mendapatkan perawatan emergency dari rumah sakit di Australia waktu tiba tiba sakit di sini, bagaimana keluarga suami saya sangat baik sehingga mau menggantikan peran saya sebagai anak tunggal untuk merawat orang tua saya yang tinggal tunggal juga sekarang, bagaimana saya punya anak yang sekarang masih tunggal tapi berhati baik dan tidak menyusahkan gurunya di sekolah. Dan bagaimana saya memiliki suami yang mau mengorbankan karir yang sudah dia bangun sepuluh tahun lebih di Indonesia untuk berangkat bersama saya kesini dan memulai segalanya dari nol lagi, yang mau menjadi koki saat saya sudah kecapekan mengajar dan malas masak, yang mau menjadi babysitter buat Jose yang susah makan, yang mau bergantian jadi cleaning service karena pembantu adalah hal yang mustahil bin mustajab.
Allah menyatakan bahwa ia akan turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia (Roma 8: 28)
Written by: Anita (10 May 2018)
Comments
Post a Comment